Oleh: Andika Sukandi
Manusia selalu
mencari jawaban untuk menjawab semua pertanyaan yang belum terjawab.
Rasa ingin tahu tersebut adalah sifat dasar dari manusia, atau
disebut dengan Id dari teori Freud, yang biasa mereka realisasikan dengan mencari
dari media tertulis ataupun tak tertulis, yaitu bertanya dengan homo sapiens
lainnya. Pencarian yang mereka lakukan, di dorong oleh dunia yang mereka
tinggali untuk mengharuskan mereka mendapatkan jawaban dari semua jawaban
tersebut dengan secepatnya.
Sumber yang menampung semua informasi, biasanya terdapat di sebuah
tempat yang bernama perpustakaan. Namun, sebesar atau selengkap apapun
perpustakaan, tak akan bisa menjawab segala pertanyaan. Ketidakpuasan ini, layaknya
mereka ingin mencari jawaban kepada Tuhan yang maha tahu.
Pencarian ini akhirnya mereka dapatkan di sebuah dunia yang bernama
dunia maya. Disana, mereka akan menemukan “para tuhan” yang akan menyarikan
jawaban dari semua pertanyaan yang mereka pertanyakan. “para tuhan” ini bernama
yahoo search, google, mozila, firefox dan lain-lainnya yang biasa dipanggil
oleh penganutnya sebagai “browser yang maha tahu”.
Komunikasi antar manusia dengan “para tuhan” ini, terjadi setiap
saat di dunia maya, mulai dari mencari informasi, data-data untuk karya tulis, berbelanja,
mencari mantan pacar atau apapun yang ingin dicari tersedia disana. Kegiatan
ini memeberkan bahwa dunia maya adalah sebuah industri baru yang sedang
berkembang pesat.
Industri Pengetahuan
Berevolisinya industri menjadi posindustri, yaitu kegiatan produksi
yang beralih dari produksi barang ke arah produksi jasa dan pengetahuan, dengan
teknologi informasi dan komputerisasi (piliang, 2003:20) kini telah berkembang bagaikan
jamur di dunia maya. Industri baru ini juga menumbuhkan pemain baru dalam menciptakan
pabrik-pabrik yang memproduksi produk jasa dan pengetahuan.
Produk-produk itu kini telah dianggap sebagai “tuhan” oleh penduduk
yang bertransmigrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Karena produk tersebut,
dianggap sebagai prototipe bagian terkecil dari keagungan Tuhan, yaitu sifat
“maha tahu”.
Fenomena ini, menunjukan bahwa “keputus asaan” manusia yang ingin
mendapatkan jawaban secepatnya yang tak mereka dapatkan dari Tuhan. Terputusnya
hubungan tersebut, dimanfaatkan oleh para produsen posindustri untuk mencoba
menyambungkan hubungan tersebut. Sebuah celah bisnis yang sangat menguntungkan
dalam memainkan bisnis dari salah satu sifat Tuhan.
Sebuah pemikiran terliar dari umat manusia inlah yang terjadi saat
ini, sebuah sikap atau menjadi budaya baru yang ingin segalanya serba cepat dan
efesien. Mematikan keindahan sebuah proses pencapain sesuatu dan mendangkalkan tanda-tanda
yang ditebarkan oleh Maha Pencipta untuk umatnya agar mereka sadar akan siapa
mereka sesungguhnya.
Pencarian
Logos
Pendangkalan makna yang sedang terjadi dewasa ini, dikarenakan
manusia hanya melihat logika saja dalam mencari sebuah jawaban. Contohnya
seperti tragedi di Situ Gintung. Manusia bertanya kepada “para tuhan” dengan memasukan
“doa” dengan menuliskan ”bagaimana tragedi situ gintung bisa terjadi?” di
fasilitas yang terpampang di tampilan “produk” tersebut, lalu mengklik search. Tidak menunggu lama, produk tersebut
akan menunjukan “kitab-kitab” yang dapat dibuka untuk menjawab pertanyaan
terebut.
Segala jawaban yang ditampilkan, akan menjelaskan secara ilmu
pengetahuan sebab-sebab terjadinya musibah itu dengan berbagai macam pemikiran
dari para ahli melalui logika dan penelitian mereka. Seperti hujan lebat yang
membuat kapasitas Situ tersebut tidak dapat menampung debit air yang berlebih,
rapuhnya tanggul, peralatan pintu air yang tak berkerja, dan juga tidak
ketinggalan sebab yang paling terpenting, human
error.
Namun, segala jawaban itu hanya menjawab “bagaimana”, “kapan”,
“apa”, “siapa”, dan “dimana” tragedi tersebut terjadi. Tetapi, tidak menjawab
pertanyaan “mengapa” itu terjadi. Ini dikarenakan, “para tuhan ini” hanya
memberikan jawaban secara logika dan ilmiah, tetapi sedikit sekali memberikan
jawaban-jawaban secara teologi.
Beberapa jawaban “mengapa”, hanya sebagai pembumbu saja dalam pemberian
jawaban oleh “para tuhan” ini. Seperti sebuah penanda sebuah mesjid yang masih
berdiri kokoh yang tidak mengalami kerusakan bangunan yang berarti. Tetapi,
“mengapa” mesjid tersebut tidak hancur? padahal mesjid tersebut dekat sekali
dengan tanggul yang jebol dan persis dijalur aliran jebolnya situ gintung. Namun
yang sangat diherankan, bangunan-bangunan lainnya seperti rumah penduduk
sekitar mesjid hancur terkena kekuatan oleh mother
nature. Ini mengingatkan kita akan tragedi tsunami di Aceh yang
memperlihatkan sebuah mesjid dekat pantai yang tidak hancur karena ganasnya
bencana tsunami.
jika dipikirkan sejenak, tak mungkin sebuah bangunan tidak hancur terkena
ganasnya aliran air yang sangat kuat. Secara ilmu pengetahuan pun masih harus
membutuhkan bertahun-tahun dalam penelitian untuk menjawab “mengapa” itu dapat
terjadi. Ini pertanda, bahwa hati dan imanlah yang akan memainkan peran
tersebut. Biarkan permainan pertanda, bebas bermain tanpa henti menjawab
pertanyaan yang diungkapkan oleh pemikiran yang mencari logos, atau kebenaran
dari kebenaran.
Cacatnya “para tuhan” ini memberikan jawaban, tidak lepas darimana
ia diciptakan. Karena “para tuhan” ini diciptakan oleh manusia untuk manusia
yang ingin mencari jawaban. Apalagi “Para tuhan” ini adalah sebuah teknologi, sebuah mesin,
yang notabennya tidak sempurna. Ini disebabkan, tidak semua yang dipertanyakan
oleh manusia kepada “para tuhan” ini dapat mencarikan jawabannya. Memang,
mereka akan mencarikan jawaban dengan cepat dan menjawabnya secara instan, Tetapi
sekali lagi, mereka hanyalah sebuah mesin yang selalu dibayangi oleh kekurangan
disana sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar