25 Agustus 2012

"Para Tuhan" di Dunia Maya


Oleh: Andika Sukandi


Manusia selalu mencari jawaban untuk menjawab semua pertanyaan yang belum terjawab.

Rasa ingin tahu tersebut adalah sifat dasar dari manusia, atau disebut dengan Id dari teori Freud, yang biasa mereka realisasikan dengan mencari dari media tertulis ataupun tak tertulis, yaitu bertanya dengan homo sapiens lainnya. Pencarian yang mereka lakukan, di dorong oleh dunia yang mereka tinggali untuk mengharuskan mereka mendapatkan jawaban dari semua jawaban tersebut dengan secepatnya.
Sumber yang menampung semua informasi, biasanya terdapat di sebuah tempat yang bernama perpustakaan. Namun, sebesar atau selengkap apapun perpustakaan, tak akan bisa menjawab segala pertanyaan. Ketidakpuasan ini, layaknya mereka ingin mencari jawaban kepada Tuhan yang maha tahu.
Pencarian ini akhirnya mereka dapatkan di sebuah dunia yang bernama dunia maya. Disana, mereka akan menemukan “para tuhan” yang akan menyarikan jawaban dari semua pertanyaan yang mereka pertanyakan. “para tuhan” ini bernama yahoo search, google, mozila, firefox dan lain-lainnya yang biasa dipanggil oleh penganutnya sebagai “browser yang maha tahu”.
Komunikasi antar manusia dengan “para tuhan” ini, terjadi setiap saat di dunia maya, mulai dari mencari informasi, data-data untuk karya tulis, berbelanja, mencari mantan pacar atau apapun yang ingin dicari tersedia disana. Kegiatan ini memeberkan bahwa dunia maya adalah sebuah industri baru yang sedang berkembang pesat.

Industri Pengetahuan
Berevolisinya industri menjadi posindustri, yaitu kegiatan produksi yang beralih dari produksi barang ke arah produksi jasa dan pengetahuan, dengan teknologi informasi dan komputerisasi (piliang, 2003:20) kini telah berkembang bagaikan jamur di dunia maya. Industri baru ini juga menumbuhkan pemain baru dalam menciptakan pabrik-pabrik yang memproduksi produk jasa dan pengetahuan.
Produk-produk itu kini telah dianggap sebagai “tuhan” oleh penduduk yang bertransmigrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Karena produk tersebut, dianggap sebagai prototipe bagian terkecil dari keagungan Tuhan, yaitu sifat “maha tahu”.
Fenomena ini, menunjukan bahwa “keputus asaan” manusia yang ingin mendapatkan jawaban secepatnya yang tak mereka dapatkan dari Tuhan. Terputusnya hubungan tersebut, dimanfaatkan oleh para produsen posindustri untuk mencoba menyambungkan hubungan tersebut. Sebuah celah bisnis yang sangat menguntungkan dalam memainkan bisnis dari salah satu sifat Tuhan.
Sebuah pemikiran terliar dari umat manusia inlah yang terjadi saat ini, sebuah sikap atau menjadi budaya baru yang ingin segalanya serba cepat dan efesien. Mematikan keindahan sebuah proses pencapain sesuatu dan mendangkalkan tanda-tanda yang ditebarkan oleh Maha Pencipta untuk umatnya agar mereka sadar akan siapa mereka sesungguhnya.

Pencarian Logos
Pendangkalan makna yang sedang terjadi dewasa ini, dikarenakan manusia hanya melihat logika saja dalam mencari sebuah jawaban. Contohnya seperti tragedi di Situ Gintung. Manusia bertanya kepada “para tuhan” dengan memasukan “doa” dengan menuliskan ”bagaimana tragedi situ gintung bisa terjadi?” di fasilitas yang terpampang di tampilan “produk” tersebut, lalu mengklik search. Tidak menunggu lama, produk tersebut akan menunjukan “kitab-kitab” yang dapat dibuka untuk menjawab pertanyaan terebut.
Segala jawaban yang ditampilkan, akan menjelaskan secara ilmu pengetahuan sebab-sebab terjadinya musibah itu dengan berbagai macam pemikiran dari para ahli melalui logika dan penelitian mereka. Seperti hujan lebat yang membuat kapasitas Situ tersebut tidak dapat menampung debit air yang berlebih, rapuhnya tanggul, peralatan pintu air yang tak berkerja, dan juga tidak ketinggalan sebab yang paling terpenting, human error.
Namun, segala jawaban itu hanya menjawab “bagaimana”, “kapan”, “apa”, “siapa”, dan “dimana” tragedi tersebut terjadi. Tetapi, tidak menjawab pertanyaan “mengapa” itu terjadi. Ini dikarenakan, “para tuhan ini” hanya memberikan jawaban secara logika dan ilmiah, tetapi sedikit sekali memberikan jawaban-jawaban secara teologi.
Beberapa jawaban “mengapa”, hanya sebagai pembumbu saja dalam pemberian jawaban oleh “para tuhan” ini. Seperti sebuah penanda sebuah mesjid yang masih berdiri kokoh yang tidak mengalami kerusakan bangunan yang berarti. Tetapi, “mengapa” mesjid tersebut tidak hancur? padahal mesjid tersebut dekat sekali dengan tanggul yang jebol dan persis dijalur aliran jebolnya situ gintung. Namun yang sangat diherankan, bangunan-bangunan lainnya seperti rumah penduduk sekitar mesjid hancur terkena kekuatan oleh mother nature. Ini mengingatkan kita akan tragedi tsunami di Aceh yang memperlihatkan sebuah mesjid dekat pantai yang tidak hancur karena ganasnya bencana tsunami.
jika dipikirkan sejenak, tak mungkin sebuah bangunan tidak hancur terkena ganasnya aliran air yang sangat kuat. Secara ilmu pengetahuan pun masih harus membutuhkan bertahun-tahun dalam penelitian untuk menjawab “mengapa” itu dapat terjadi. Ini pertanda, bahwa hati dan imanlah yang akan memainkan peran tersebut. Biarkan permainan pertanda, bebas bermain tanpa henti menjawab pertanyaan yang diungkapkan oleh pemikiran yang mencari logos, atau kebenaran dari kebenaran.
Cacatnya “para tuhan” ini memberikan jawaban, tidak lepas darimana ia diciptakan. Karena “para tuhan” ini diciptakan oleh manusia untuk manusia yang ingin mencari jawaban.  Apalagi “Para tuhan” ini adalah sebuah teknologi, sebuah mesin, yang notabennya tidak sempurna. Ini disebabkan, tidak semua yang dipertanyakan oleh manusia kepada “para tuhan” ini dapat mencarikan jawabannya. Memang, mereka akan mencarikan jawaban dengan cepat dan menjawabnya secara instan, Tetapi sekali lagi, mereka hanyalah sebuah mesin yang selalu dibayangi oleh kekurangan disana sini.

Tidak ada komentar:

Senyuman Monalisa

  Oleh: Andika Sukandi “Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang k...