04 September 2012

Eksistensialisme di Dunia Maya


Oleh: Andika Sukandi


Di akui oleh orang lain adalah keinginan terdalam dari seorang individu.

Setiap manusia di seluruh dunia, mempunyai keinginan untuk dikenal, diakui, dihargai dan dihormati keberadaannya oleh orang lain selama hidupnya. Keinginan mereka, biasanya diwujudkan dengan berbagai macam cara, seperti pencapaian prestasi akademik, olahraga, seni, musik, sastra ataupun sampai membiarkan kehidupan pribadi sebagian dari mereka diekspos oleh media infotainment. Ini dikarenakan, para individu ini menganut sebuah paham eksistensialisme, yang berarti manusia yang bertanggung jawab atas kemaunnya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar. (Alwi, 2003:288)
Para penganut eksistensialisme ini berlomba-lomba mendapatkan pengakuan tersebut untuk menunjukan kepada sekitarnya bahwa individu ini pernah ada atau selalu eksis di dunia ini. bahkan ada beberapa individu, namanya selalu eksis sepanjang masa walaupun individu ini telah tiada.
Proses pengakuan ini tak hanya ada di dunia realita saja, namun kini mulai merambat ke dunia lain. Dunia yang disebut dengan internet. Sebuah dunia maya yang yang menyediakan restoran untuk para individu yang masih lapar akan pengakuan. Laparnya para individu ini dapat memilih berbagai macam restoran jaring sosial yang dapat mengenyangkan mereka. Seperti restoran friendster, yahoo mesangger, youtube, twitter, blogger ataupun restoran yang sedang terkenal saat ini, yaitu facebook.
Inilah sebuah dunia yang tepat dengan berbagai macam restoran untuk para individu yang ingin mendapatkan sebuah hidangan pengakuan dari orang lain yang biasanya tidak di dapatkan dan dirasakan kelezatannya di dunia nyata.

Ekstasi Narsisme
Keinginan untuk diakui oleh orang lain di dunia maya, kini tak hanya untuk diakui saja, tetapi bermetafosa menjadi narsisme. Sebuah istilah yang berarti cinta diri. Kata yang dibentuk berdasarkan Narcissus, seorang tokoh mitologi Yunani, yang mati tenggelam karena terpukau pada pantulan wajahnya sendiri. (Freud, 1983:143)
Itulah yang sedang terjadi di dalam dunia maya sekarang, para individu yang tenggelam dengan sensasi situs yang menyediakan media untuk show off. Mulai dari mengupload foto-foto, video, chatting, menceritakan aktifitas keseharian mereka ataupun hanya menggambarkan perasaan mereka saat itu ke orang lain.
Kegiatan ini yang membuat para penganut Narcissus diselimuti oleh ekstasi, yaitu sebuah analogi Baudrillard tentang menggambarkan kemabukan yang melanda masyarakat kontemporer dalam berkomunikasi (Piliang, 2003:17). Ekstasi narsisme inilah yang kini menjadi sebuah trend, ataupun juga telah menjadi sebuah budaya. Budaya show off  kepada penduduk dunia maya.
Namun, budaya yang dianut para penduduk dunia baru ini sangatlah ironis, di satu sisi para individu ini sangat bersosialisasi di dunia maya, namun disisi lain, mereka menjadi individualis di dunia nyata. Mereka bisa berjam-jam saat online dan terkadang para individu ini tidak peduli dengan sekeliling tempat dimana ia terhubung melalui laptop atau blackberry mereka. Sampai-sampai para on liner ini melantarkan kegiatan yang menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kehidupan mereka sesungguhnya.

Simbiosis mutualisme
            Sikap bijaksana yang tahu menentukan apa yang pada tempatnya atau tidak pada tempatnya, dibutuhkan untuk para on liner di dunia maya. Karena keharmonisan antar dua dunia ini harus tetaplah seimbang. Jika para individu ini terlalu senang di dunia baru hanya untuk bernarsis ria, show off , lupa waktu dan tak sengaja menjadi individualis, tentu saja akan merugikan dunia realitas mereka. Oleh karena itulah, dua dunia ini harus menjadi simbiosis mutualisme, atau saling menguntungkan.
Seperti halnya beberapa politisi saat ini yang memanfaatkan dunia maya bukan hanya untuk eksis ataupun narsis saja, tetapi mereka mempunyai misi untuk mendukung keinginannya di dunia nyata. mereka menggunakan situs-situs jaringan sosial seperti facebook untuk memperkenalkan diri, membeberkan misi dan visinya untuk menjaring suara di dunia maya.
Cara inilah yang mereka pilih untuk mendapatkan simpati, karena sebagian penduduk di Indonesia sedang eksis menjalani kehidupan di dunia maya. Keberhasilan cara ini telah dibuktikan oleh presiden Amerika saat ini, yaitu Barrack Obama yang menjaring masa dengan memanfaatkan teknologi ini untuk mendapatkan suara.
Eksisnya para individu ini di situs-situs jaring sosial tersebut, membuat para pengelola situs mendapatkan keuntungan dari kunjungan para penduduk dunia nyata yang selalu menikmati hidangan yang disajikan oleh pengelola situs yang difasilitasi oleh dunia maya dan membuat dunia baru ini menjadi sangat eksis di dunia nyata.
            Simbiosis mutualisme tersebut, telah menunjukan kepada kita bahwa dunia maya bukan hanya sebuah tempat untuk diakui, ataupun untuk show off, namun mempunyai berbagai macam manfaat untuk kehidupan nyata. Semua itu tergantung para individu untuk memanfaatkan dan menggali potensi dari dunia baru ini tanpa mengabaikan dunia realitas sebenarnya.   

01 September 2012

Idealisme yang Realistis


Oleh: Andika Sukandi


Banyak mahasiswa yang di Drop-out dan tidak lulus kuliah. Tetapi, mereka malah menjadi seorang yang sukses luar biasa karena paham idealisme yang diusungnya. Masih berlaku kah konotasi negatif drop-out di masyarakat?

Pandangan miring akan istilah drop-out, telah menggelitik nurani untuk dipertanyakan kembali tentang konotasi negatif istilah ini. Sebuah istilah yang menyudutkan setatus sosial para mahasiswa di masyarakat yang gagal dalam perkulihannya. Begitu jelek kah setatus mantan mahasiswa yang mendapatkan title tersebut? Apakah keberhasilan seseorang dipandang dari pencapainnya lulus dari perguruan tinggi?
Mungkin, pertanyaan ini akan dijawab seseorang yang secara tidak langsung mendekontruksi pandangan miring tersebut. Seorang mantan mahasiswa Harvard yang di drop-out. Dia adalah salah satu pendiri situs yang bikin hampir seluruh penduduk dunia kecanduan akan sensasi yang ditawarkan oleh situs jaringan sosial yang dibuatnya.
Ya, dialah Mark Elliot Zuckerberg. Salah satu pendiri situs facebook bersama dengan dua temannya, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Zukenberg di drop out karena kecanduan segala hal tentang computer dan teknologi informasi yang membuatnya melantarkan aktifitas perkuliahannya. Apakah dia gagal? Tidak. Ia mendekotruksi pandangan tersebut dan menunjukan kepada kita bahwa ia adalah seseorang yang sukses luar biasa tanpa title yang melekat di belakang namanya. Sebuah ketekunan dan idealisnya yang kini telah menelurkan sebuah karya yang fenomenal di dunia maya.
Fenomena ini juga, telah dinikmati oleh seseorang yang tidak mendapatkan gelar perguruan tinggi. Malahan, seseorang tersebut mendapatkan gelar yang tak kalah terhormatnya, yaitu gelar salah satu orang terkaya di dunia. Seseorang yang menciptakan program luar biasa yang bernama Microsoft.
Ya, Siapa lagi bukan Bill Gates. Seorang yang mendobrak kepincangan akan status seseorang yang tak mempunyai gelar. Ia bahkan melebihi kesuksesan para lulusan sarjana yang mempunyai title. Fenomena inilah yang sedang mengguncang segala pandangan realistis yang beredar di masyarakat, bahwa sukses tak harus mempunyai gelar. 

Matinya Idealisme
di Negara ini, Negara yang kaya akan pakem-pakem sosial, budaya warisan leluhur, ataupun pandangan lisan akan hidup, masih beredar pandangan yang memaparkan pandangan miring oleh sebagian masyarakat tentang idealisme. Persepsi yang mengatakan bahwa idealisme tak dapat mengenyangkan perut dan pundi-pundi kekayaan.
Seperti pelukis yang kaya akan keindahan karya-karyanya, tetapi dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai seseorang individu yang miskin dan tak mempunyai penghasilan yang tetap perbulan. Ataupun para musisi yang mendenyutkan nadi alat musik tradisional untuk tetap hidup lebih lama lagi untuk bertahan dari beredelan alat-alat musik modern yang menjejali para anak muda saat ini. Namun sekali lagi, para pahlawan musisi ini masih saja dipandang sebagai orang yang tidak realistis dalam menjalani realitas hidup.
Ini semua dikarenakan, sebagain besar masarakat lebih mementingkan realitas daripada idealisme. Realitas dimana penghidupan yang layak sebagai tujuan hidup. Hidup yang penuh dengan kemapanan dan konsumerisme yang berujung matinya idealisme kreatif.
Tak pelak lagi, pandangan tentang pakem realistisme membuat idealisme terpinggirkan ke status sosial anti kemapanan yang hanya mengantarkan ke jalur yang berliku-liku menghadapi realitas hidup.  

Idealisme-realistis
Paham idealisme seniman yang murni, selalu mengedepankan kenikmatan diskursus seni dan merefleksikannya ke dalam batin, kemudian menuangkannya ke dalam sebuah eksistensialisme kegilaan berkarya yang tak terbatas untuk memenuhi kepuasan batin mereka. Tanpa memikirkan jumlah materi yang akan diperoleh dari penjualan masterpiece mereka.
Namun, dari semua idealisme murni tersebut, ada beberapa pandanganan idealisme yang bertransformasi dan mulai meruntuhkan kokohnya pandangan para realitas. Pemikiran tersebut adalah idealisme-realistis yang diusung oleh Bill gates, Zuckerberg dan para idealis lainnya. Mereka berfikir bahwa paham idealisme yang berkalborasi dengan paham realistisme, dapat menciptakan realitas hidup tersendiri yang akan berevolusi menjadi pos-realistis, melebihi kerealistisan para penganut realitas.
Dan kini, Idealisme-realistis mulai membanjiri ke seluruh bagian bidang. Seperti beberapa orang yang mempunyai idealis yang tinggi untuk mengurangi sampah rumah tangga. Mereka mendaur ulang sampah plastik menjadi tas jinjing, payung, karya seni, ataupun lampu hias. Dengan karya-karya tersebut, mereka mendapatkan pos-realistis hidup dengan mendapatkan penghasilan dari menjual determinasi idealis mereka.
Pemikiran inilah yang ditunggu saat ini, pemikiran yang mungkin akan menggugah pemikiran para mahasiswa ataupun yang telah lulus, untuk tidak kalah dengan para hyper-success yang minus title, yang telah mendominasi dunia dengan idealisme karyanya.
Mungkin saja, idealisme ini bertranformasi menjadi idealisme-realistis-nasionalis yang akan terpatri ke dalam hati nurani para pejabat negara yang lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat dan negara daripada mementingkan egosentris kelompok tertentu ataupun untuk mereka sendiri. Jika para pejabat Negara berfikir untuk mengedepankan kesejahteraan rakyat dan mewujudkannya, realitas hidup akan terpenuhi dengan sendirinya ke dalam kantong kesejahteraan mereka.

Senyuman Monalisa

  Oleh: Andika Sukandi “Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang k...