08 Januari 2010

Tragedi di Siang Bolong

“Sorry Rin, soal kemaren. bukan maksud gw kaya gitu. Gw saat itu dilema” ujar Eron yang terengah-engah mengejar diriku yang berjalan dengan cepat di pelataran kampus untuk menghindarinya.

“Dilema apaan? jangan alesan deh!!” aku langsung berhenti dari langkahku.

Memang, aku dan dia teman dekat, selalu main ledek-ledekan. Tapi aku tak habis fikir ia bertidak seperti itu.

“Gw pengen bantuin lo pas terpeleset di selokan depan kampus. Tapi jiwa jurnalis gw berkata bahwa ini sebuah berita. Makanya gw photo lo saat itu juga. Namun disisi lain, rasa humanis dalam diri gw berontak” jelasnya.

“Terus kenapa ga lo turutin rasa kemanusiaan lo?” aku tambah kesal.

“Gw akan turutin jika gw lihat sikon?”

“Maksud lo apaan?”“Iya, melihat sikon. Kebetulan saat itu disekitar gw ada orang lain, makanya gw minta tolong orang lain untuk bantuin lo. Tapi kalo gw cuma sendiri dan ga ada siapapun, gw akan langsung bantuin lo”

“banyak alesan lo yah!!” ujarku sambil berjalan kembali menuju gedung kampus.

“Terus kenapa tuh photo lo upload di FB?”

“He…he…kalo itu mah gw bales dendam. Dulu, lo upload photo gw pas dikejar-kejar anjing” ucapnya sambil tersenyum puas.

“Rese lo!!” kucubit tangannya.

“Tapi lo maafin gw kan?” katanya lagi dengan wajah mengiba.

“Iya, gw maafin.” sambil menyodorkan tanganku padanya.

“Iya, tuan putri” ucap Eron sambil mencium tanganku.

“Eron” Mendadak sebuah panggilan dari arah belakangku. Saat kupalingkan badan untuk melihat siapa yang memanggil, wajahku langsung terpana melihat wajah cowo yang kukagumi beberapa hari ini. Walaupun dia anak semester satu, tapi senyum dari wajahnya telah membuatku tak bisa bernafas, senyum yang mencuri perhatianku, senyum yang akan membuat para wanita merasa nyaman untuk selalu bersamanya setiap saat.

“Hai Ron” sapanya yang membuyarkan lamunanku dengan senyum itu. Senyum yang memabukanku sekali lagi. Lalu pandangan kedua matanya yang menyejukan itu, kini bertemu dengan kedua mataku.

“Itu kamu yah yang kemarin terpeleset di selokan depan?” tanya cowo itu.

“Iya, itu aku” kutahan rasa maluku.

“Ris, ini cewe udah beberapa hari ngoceh tentang lo melulu. Kayanya dia naksir deh ama lo?” ledek eron padaku.

“Apaan sih lo!!” kucubit perut Eron.

“Iya…iya…gw kenalin. sabar dong.” ledek Eron lagi yang mulai menjadi-jadi. Tapi akhirnya Eron mengenaliku juga dengannya.

“Rin, ini haris,…Haris, ini Rina”

“Rina”

“Haris”

Kami langsung bersalaman dengan kedua mata kami yang bertatapan. Kurasakan getaran di hati ini seperti sengatan listrik yang menghangatkan. Ditambah lagi dari telapak tangannya yang menggengam erat tanganku menambah getaran misterius yang kini menjalar ke seluruh tubuhku. Entah berapa detik kami berpose seperti ini. Karena aku tak ingin melepaskan jabatan hangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya dan kulihat ia juga tak ingin melepaskan tanganku.

“Ehm”

Terdengar sebuah suara batuk yang disengaja dari arah sampingku dan secara refleks melepaskan jabatan tangan kami.

“Udah jangan kelamaan salamannya” ujar dosen agamaku yang kebetulan lewat di samping kami.

“Iya pa” aku sedikit tersipu.

“Jangan berduan yah, nanti yang ketiganya setan” ucap dosenku.

“Kalo gitu, yang ketiganya dia dong setannya” kutunjuk ke arah Eron.

Namun aku sedikit kaget, ternyata si Eron udah ilang entah kemana meninggalkan kami. kemudian kulihat dosenku hanya tersenyum tipis dan melenggang pergi meninggalkan kami.

“Dasar setan. cepet banget ilangnya” makiku ke Eron.

“Ternyata kamu lebih cantik kalo lagi marah”

“Maksud lo?” aku langsung bertolak pinggang merasa tersinggung juga tersanjung.

“He..he..becanda ko. Oh iya, udah sarapan belum?” ucapnya mengalihkan pembicaraan.

“Belum sih” jawabku sambil merapikan poniku.

“Wah kebetulan, temenin gw dong nyari tempat makan yang enak di sekitar kampus.”

“Boleh”

akupun mengiyakan ajakannya walaupun beberapa menit lagi aku ada jam kuliah.


***

“Duaaaaaaaaaar”

Sebuah suara ledakan menggelegar mengagetkanku dan membuat mata ini terbelalak mencari sumber suara tersebut. Dengan terpaksa kuangkat tubuh ini dari tidur siangku sambil menyeka air liur yang melalang buana di pipi.

“Aaaaaaaaah”

Kini terdengar suara teriakan yang tidak asing bagiku menampar wajah ini dari arah dapur. Secepat kilat aku langsung berlari meninggalkan kamar tidurku menuju dapur. Sampai disana, kulihat Novi, teman satu kosanku sedang berteriak histeris mengibas-ibaskan serbet ke amukan api yang bergelora di kompor minyak tanah yang kini tak berbentuk karena ledakan tadi. Untunglah, kulihat ke sekitar kompor, api tak menyambar ke barang-barang lain.

“Rina, gimana dong nih” lirih Novi dengan wajah panik.

“Lo ambil air cepet” perintahku.

Dengan sekejap, Novi menuruti perintahku dan berlari menuju kamar mandi. Rasa khawatir di wajahku mulai tak karuan saat api mulai membesar di atas kompor. Secara refleks tanganku menyambar payung berukuran panjang tepat disampingku. Kudekati kompor yang terletak dilantai beberapa meter di depanku. Hawa panas mulai menyapa wajah ini. Dengan sedikit keberanian tersisa, kucantolkan ujung payung yang berbentuk seperti kait pancingan ke rangka kompor dan menariknya dengan hati-hati. Kucoba mengeluarkan kobaran api ini agar tidak menyambar ke seluruh ruangan dan membakar kosan kami yang berbentuk rumah tipe 21. Entah berapa meter aku menarik kompor ini menjauhi dapur dan kini telah berada di ruang tamu, tiba-tiba Novi datang sambil menggotong ember berisi air.

“Rina, ini airnya.”

“Ya udah cepet siram” Novi mengangkat ember itu dengan ancang-ancang seperti pemain bowling. Tetapi kulihat matanya malah tertutup saat menyiramkan air tersebut dan…

“Byuuuuuuurrrr”

“Noviiiii!!! bukan gw yang lo siram, tapi kompornya!!” geramku

“Sorrrrry” jawabnya dengan nada bersalah.

“Udah cepetan ambil air lagi”

“Iya..iya..”

Sambil menahan amarah menerima kelakuan temanku yang tak bisa diandalkan itu, aku mencoba menarik kembali kompor yang tambah membara. Akhirnya, aku dapat mengeluarkan kompor tersebut sampai di perkarangan rumah. Tanpa dikomando, aku langsung berlari ke rumah di depan kosanku dimana eron ngekos.

“Eroooon” aku langsung teriak memanggilnya.

“Kenapa lo Rin?” tanyanya kebingungan saat ia keluar dari kosannya.

“Eron, bantuin dong. kompor gw meledak” sambil menunjuk kobaran api di perkarangan kosanku. Tapi entah apa yang ada di otaknya, dia terdiam sejenak seperti berfikir lalu masuk kedalam rumah dan keluar lagi dengan membawa handycam.

“Ko lo ngeluarin handycam sih, bantuin gw dong cepet” kesalku melihat reaksinya mengatasi situasi ini. Tak disangka, seseorang yang kupuja beberapa hari ini keluar dari kosan Eron bergerak secara refleks menuju api yang sedang membara. Di saat yang sama, kulihat Rina keluar dari dalam rumah dan cowo tersebut langsung mengambil ember dari tangan Rina. Seperti petugas pemadam kebakaran, ia dengan sigap mengambil keset di depan pintu depan kosanku dan memasukannya ke dalam ember. Pada saat itulah, aku berkata dengan kagum, “My hero”

“buuuuuuusssssss” suara decit api yang menggelora terpadamkan dengan seketika oleh keset basah menutupi atas kompor yang dilempar oleh dia.

“Kamu ga apa-apa?” ujar haris padaku.

“Aku ga apa-apa” dengan wajahku yang masih terlena oleh aksi heroiknya.

“Aku ga apa-apa ko” kudengar Novi malah menyambar berbicara kepadanya dengan wajah yang mulai menyadari ketampanan Haris dan melupakan kalo tragedi ini gara-gara kelakuannya.

“Syukur deh kamu ga apa-apa” ujar Haris dengan senyum yang manis dan terlihatlah lesung pipinya yang akan membuat setiap gadis akan kelepek-kelepek melihatnya. Termasuk aku.

“Makanya kalo nyalain kompor hati-hati” akhirnya Eron angkat bicara sambil menyorot kamera ke arahku.

“Keterlaluan lo yah, bukannya bantuin gw tadi!!” kupasang wajah amarahku.

“Gw pengen bantuin, tapi lo tau sendiri kan alasan gw” sambil mematikan handycamnya.

"Ada yang bisa gw Bantu?”

“Rese lo!!!” sambil kutendang kakinya.

Disaat itulah aku baru sadar, sudah banyak orang berkerumun melihatku dengan kondisi sedang basah kuyub, tatanan rambutku yang tak beraturan, ekspresi wajahku yang yang tak berbentuk karena tercampur aduk oleh perasaan panik yang membuatku langsung teriak.

“aaaaaaaah”

“kamu ga apa-apa” dengan sigap Haris menghampiriku dan memegang tangan ini sekali lagi.

“aku…ga..pa..pa” ucapku sedikit tergagap.

“Ya udah kamu ganti baju dulu. Biar gw ama Eron urus nih kompor” ujarnya.

Akupun langsung masuk kedalam kosan dengan wajah merah padam. Bukan karena malu di saksikan orang-orang karena tragedi ini. Tapi malu bertemu dengan Haris dengan tragedi yang memalukan seperti ini.


***

Kulangkahkan kakiku menyusuri lorong menuju kelas dengan mengikuti irama jantungku yang berdegup berirama seperti menemukan komposer untuk instrumen musik hatiku. Ya, aku telah menemukan komposer hatiku yang akan memainkan nada-nada yang indah untuk menemaniku hari ini sampai hari-hari berikutnya. Karena setelah tragedi memalukan tersebut, aku tambah dekat dengan Haris dan kini kami telah jadian.

“Aku ingin selalu merasakan irama hati yang indah ini untuk selamanya” bisikku ke dalam hati. Tapi sepanjang jalan, bahkan sepanjang hari ini, kulihat teman-temanku yang kukenal melihatku dengan senyum yang terpaksa saat kusapa mereka, ada beberapa yang menahan tertawa dan ada juga mereka langsung tertawa terbahak-bahak saat melihatku sampai di depan kelas.

“Pada kenapa sih, lo pada ketawain gw?” heranku

Tapi mereka tidak menjawab. Malah kini ledakan tertawa tambah menggelegar menghiasi lorong. Aku langsung memperhatikan seluruh tubuhku lagi, Apakah aku salah memakai pakaian, ataukah wajahku salah memakai make up? tapi kulihat lagi, tak ada yang aneh.

Aku langsung duduk lesehan di lantai mencoba tidak memperdulikan hal itu. Namun, suara cekikikan yang mentertawaiku masih menabuh gendang di telingaku

“lo bisa diem ga sih?”

“sorry…sorry…” ujar temanku yang duduk di samping pintu kelas meminta maaf, tapi wajahnya masih terlihat menahan tawa.

“Aaaahh, jadi bete kan gw. padahal hari ini gw lagi seneng” gerutuku.

Aku langsung mengambil Hpku dan masuk situs FB untuk mengurangi beteku. Saat aku telah masuk ke situs tersebut, aku langsung kaget, kulihat tanda bertuliskan 125 notifications.

“Buseeet banyak banget, baru kemaren gw buka udah banyak gini. Pada komentarin apaan nih anak-anak?”

Ku klik tanda tersebut dan terlihatlah notification yang hampir semua mengkomentari video of you.

“Perasaan gw ga enak nih” Aku langsung mengklik tulisan video of you. Lalu terbukalah semua tabir dan alasan dari mereka mentertawakanku sepanjang hari ini yang membuat wajahku merah padam saat membaca uraian video tersebut “tragedi kompor meleduk”. Tak ayal lagi aku langsung berteriak.

“Erooooooooooon jeleeeeeeek”

Oleh: Andika Sukandi

Senyuman Monalisa

  Oleh: Andika Sukandi “Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang k...