18 April 2024

Senyuman Monalisa

 Oleh: Andika Sukandi


“Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang kupakai disebelah tangan kananku.
“Ya ampun Vin, dari tadi ngitungin jam melulu”
“He...he…ga tahu nih, puasa hari terakhir kayanya berat bangeeeet”
“Tapi ga segitunya dong” ujarnya.
“Dari awal puasa kan gw udah ngomong ke elo. Kalo nahan dahaga itu biasa bagi gw, karena gw jarang minum air. Nahan laper gw juga ga masalah, karena gw sering diet. Apalagi nahan untuk ngeliat cowo-cowo ganteng berkeliaran di sekitar gw, itu sepele bagi gw. Tapi yang gw ga bisa tahan, gw ga bisa nahan hasrat gw untuk ngeledekin orang.”
“Ooooooh. Jadi lo ga bisa nahan hobby lo yang ngeledekin orang” ujar Chika sambil merapikan jilbabnya dengan pandangan yang mulai sedikit ketakutan mendengar perkataan selanjutnya dariku.
“Iya. Apalagi kalo ngeliat lo, pasti bawaannya pengen…”
“Ngeledekin gw!!!”
Chika langsung melanjutkan perkataanku.
“He..,he…apalagi ngeliat perut lo yang tambah buncit. Tuh kan gw ngeledek lagi”
“Rese lo!!” ujarnya sambil mendorongku ke arah sampingku dengan pelan karena kami sedang duduk berdampingan di bangku taman kota.
“Sorry Chik. Gw kelepasan.” ucapku sambil meluruskan kakiku yang pegal, karena dari pagi aku dan Chika habis berbelanja kebutuhan lebaran besok.
Aku langsung terdiam sambil melihat orang-orang yang sedang menikmati keteduhan taman kota ini dan memperhatikan tata letak dan pengaturan taman ini.
“Gw baru sadar, ternyata disain taman ini keren juga”
“huuuh, dasar anak disain”
Chika mengomentari kata-kataku barusan tadi.
“He…he…lo ngertilah. Sekarang kata disain udah jadi bagian hidup gw” ujarku dengan tersenyum lebar. “Oh iya. gimana si Willy? Kayanya gw ga pernah liat dia jemput lo di kampus”
“Dia lagi sibuk sama gaweannya” jawab Chika
“Ooooh” ujarku panjang.
“Oh iya Vin, belakangan ini gw kurang pede nih sama bentuk badan gw sekarang. apalagi kalo ketemu si Willy”
Chika menunjuk badannya yang kini sedikit berubah bentuk. Karena saat ini, kulihat berat badannya naik sekitar sepuluh kilo.
Tapi dari semua itu, ia mempunyai kelebihan yang membuatku kagum, bukan kelebihan berat badannya, tapi otaknya dalam merangkai kata. Ia terbiasa merangkai kata seperti itu, karena jurusan kuliah yang dia ambil, yaitu sastra. Faktor kelebihanya itulah, kuacungkan empat jempol kepadanya. Dua jempol tanganku dan dua jempol kakiku. Maka dari itu, aku mencoba untuk menghiburnya. “Ya elah Chik. Walaupun nanti berat badan lo naik 70 kilo dan bentuk badan lo beleber kemana-mana. Gw yakin dia tetep suka sama lo”
“Tuh kan, lo ngeledek gw lagi. Nyesel gw tadi curhat”
“Kan gw tadi ngomongnya menggunakan konteks pengandaian.”
“Tapi jangan ngandaian gw naik 70 kilo dong. Serem banget gw bayanginnya”
“Tunggu Chik, gw bayangin dulu kalo berat badan lo naik segitu”
Aku langsung menerawang melihat ke atas, kemudian melihatnya lagi sambil membayangkan dia seperti itu. Perlahan tapi pasti, aku langsung tertawa dari volume terkecil kemudian perlahan menanjak ke volume yang terbesar.
“Vinaaaaa!!!”
“Iye...iye...sensitif banget sih”
“Gw lagi dateng bulan tau!!”
“Pantesan aja lo marah-marah melulu kaya jin yang lagi ngamuk gara-gara kurang sesajen….tuh kan, mulai lagi gw”
“Bener-bener deh lo, ngeledekinnya tambah parah”
Chika memasang muka yang terlihat kesal kearahku, seperti pengen gebukin kasur dengan alat khusus yang terbuat dari rotan seperti raket tennis.
“Ga tau nih Chik. Susah banget gw ngilangin kebiasaan buruk gw. Gimana dong nyembuhinnya?”
Tiba-tiba, terdengar suara azan Ashar terdengar membahana di taman kota yang memanggil-manggil di telinga mereka dan membuat Chika menenangkan emosinya.
“Ya udah gini deh, lo shalat ashar dulu. Abis itu lo berdoa dan minta petunjuk sama Allah untuk bisa ngilangin penyakit lo” ujar Chika memberikan saran untukku.
“Thanks Chik”
Aku langsung memeluknya dengan hangat seperti memeluk seorang saudara kandung yang tak pernah kurasakan, karena aku anak satu-satunya di keluargaku.
“Tapi gw ga bisa shalat bareng lo”
“Emangnya kenapa?”
“Kan gw lagi dapet”
“Oh iya, lo lagi dapet yah”
kemudian Chika menarik lenganku dengan pelan. Aku langsung bangun dari bangku taman sambil memegang bawaan belanjaanku yang memenuhi sebelah tanganku dan sebelah tanganku yang lain sedang dipegang oleh Chika. Kini kami menuju Mesjid tak jauh dari taman kota dimana tadi aku berteduh dan melepas lelah.
“Thanks Chik, walaupun kulit lo item kaya areng, tapi hati lo putih bersih”
“Tuh kan ngeledek gw lagi!!!” ujarnya kesal.

***

Kulangkahkan kakiku melalui jalan yang menuju rumahku sambil memikirkan Chika. Baru kusadari, kalau ia sedikit tersingung dengan ledekanku tadi. Tapi renunganku tentangnya langsung buyar saat kulihat jamku lagi untuk sekian kalinya. Ternyata, 30 menit lagi kumandang azan magrib akan terdengar. Kupercepat langkahku untuk sampai ke rumah. Tapi saat di pertigaan menuju rumahku, aku melihat tempat pengisian pulsa.
“Oh iya, pulsa gw abis.”
Aku langsung menuju tempat itu untuk mengisi pulsaku yang sekarat. Seperti biasa, pas hari lebaran, aku selalu meminta maaf lewat sms.
Sampai disana, aku meminta di isikan pulsa dengan nominal cukup besar. Karena aku masih ada sisa uang belanja lebaran.
Setelah selesai mengisi pulsa, kubalikan tubuhku dari tempat pengisian pulsa. Saat kulangkahkan kakiku memasuki gang menuju rumahku, seseorang berpakain putih berpas-pasan bertemu denganku. Kunaikan pandanganku untuk melihat wajahnya.
“Pak ustad”
“mmm…Vina yah”
“Iya pa ustad”
“Mau kemana pak ustad?” tanyaku.
“Ke mesjid. Mau buka puasa disana”
Ia menunjuk mesjid yang kubahnya lumayan besar dan dapat dilihat dari kita berdiri. Pak ustad langsung berjalan beriringan denganku, karena arah jalan gang rumahku, menuju mesjid yang tadi ditunjuknya.
“Oh iya, kamu udah lulus belum?”
“Belum pa ustad. Lagi nyusun tugas akhir”
“Yang semangat yah”
“Thank you pak ustad”
“Penyakit kamu udah sembuh belum?” tanyanya.
“Saya ga sakit pa ustad?”
Aku langsung heran mendengar pertanyaan dari pak ustad yang pernah menjadi guru ngajiku waktu kecil sampai SMP.
“Maksud saya penyakit jail kamu” jelasnya.
“Waduuuh, pak ustad masih inget aja. Vina jadi malu” ujarku sambil menggigit bibir bawahku.
“Saya masih inget, karena kamu yang paling bandel dan paling jail ngeledekin teman-teman kamu”
“He…he…iya nih pak ustad. Susah banget nyembuhin tuh penyakit sampai sekarang” ujarku sambil menggaruk belakang kepala yang tidak terasa gatal.
“Vina, saya cuma ngingetin aja. Apa yang kamu lakukan di dunia ini, pasti akan dibales di akhirat”
“Pak ustad jangan nakut-nakutin dong”
“Saya ga nakut-nakutin kamu. Coba deh kamu bayangin di akhirat nanti. Kamu ternyata masuk ke daftar tamu neraka gara-gara timbangan dosa kamu keberatan karena kamu sering ngeledekin orang.”
Aku langsung terdiam mendengar kata-katanya. Biasanya aku bisa membalas perkataan orang lain, tapi lidahku kini langsung kaku tak bisa berkelit.
“Coba bayangin lagi, ternyata kamu pas di hari pembalasan. Kamu ketemu sama dia, sang Professor Dr. iblis M.N. Dia nyiksa kamu dengan ngeledekin kamu selamanya.”
“M.N? apa tuh kepanjangannya pa ustad?” tanyaku sambil mengkerutkan dahiku yang tertutup oleh poni rambutku.
“Master Ngeledekin orang”
“Pa ustad bisa aja nih”
Tidak terasa, aku sudah sampai di depan rumahku.
“Pak ustad mampir dong. Kita buka puasa di rumah aku aja” ajakku.
“Terima kasih, tapi saya harus ada di mesjid. Salam aja yah buat keluarga di rumah” ucapnya.
“Oke deh. Vina duluan yah”
Kulambaikan telapak tanganku ke kanan dan kiri dengan cepat yang bertumpu di pergelangan tangan kananku.
“Oh iya Vina. jangan lupa yah?”
“Lupa apa pa ustad?”
“jangan lupa nikah”
“pak ustaaaad ko ngeledek Vina sih”
Aku sedikit tersinggung, karena usiaku yang sudah cukup umur untuk menikah, dan juga belum juga dapet pacar.
“Astaghfirullaahal’azim. Saya jadi ketularan kamu kan”
Aku langsung mengerti mengapa pa ustad meledekku. Ternyata dia mencoba mengingatkanku untuk mengucapkan salam dan juga mengingatkanku lagi kalo aku nanti di akhirat nanti.
“Oke deh pa ustad. Makasih yah tadi atas nasehatnya juga ledekannya”
“Sama-sama Vina”
“Assalamu alaikum” ucapku memberi salam padanya.
“Waalaikumsalam”

***

Suara kumandang takbir terdengar saling bersahutan antara mesjid satu dengan mesjid lainnya. Disaat yang sama, aku sedang duduk di meja makan melihat sesuatu yang dibungkus dalam rajutan yang indah berwarna kecoklatan berbentuk layangan. Layangan itu kini kusasat helai demi helai rajutan dari daun kelapa itu. Setelah terbuka, kubelah nasi yang telah padat di dalamnya menjadi kecil-kecil lalu kutaruh dalam piring sambil kusiram dengan kuah santan, kunyit dan bumbu-bumbu yang bersatu padu menggenangi potongan kecil nasi padat yang tadi kupotong.
Aroma yang keluar dari opor yang masih hangat itu, kini sedang mengerubungi hidungku. Aroma itu juga meggodaku untuk mencaplok potongan ayam yang telah berwarna kuning karena bumbunya telah meresap ke dalam daging. Ditambah lagi kentang yang di iris-iris kecil berwarna kuning kemerah-merahan, menambah nafsuku untuk melahap hidangan yang terhampar di depanku saat ini.
Lagi asiknya melahap hidangan khas lebaran ini, terdengar suara dari arah ruang tamu. Ternyata pamanku datang dengan keluarganya dan kini menghampiriku.
“Mohon maaf lahir dan batin om” ucapku sambil mencium telapak tangan atas dari pamanku.
“Mohon maaf lahir dan batin juga Vin”
“Uang lebarannya mana?”
“Astaga Vina, udah gede juga masih minta uang lebaran”
“Kan Vina masih anak kecil dan masih imut-imut om”
Kemudian kulihat omku merogoh kantong dari pakaian gamisnya. Aku langsung tersenyum lebar membayangkan aku dapat uang seratus ribu seperti lebaran kemaren.
“Nih buat anak kecil dan masih imut-imut”
“Loh ko? cuma seribu perak”
“Kan biasanya anak kecil dikasih segitu. Seribu perak juga udah seneng”
“Idiiih, om peliiiiiit”
Tapi omku tidak memperdulikan kata-kataku tadi sambil melenggang pergi menuju ruang tamu. Aku melihat seribu perak tadi yang diberikannya sambil geleng-geleng ga percaya. Lalu, ibuku datang dari arah dapur membawa rendang dalam sepiring besar. Ternyata dari tadi ibuku mendengar perbincanganku dengan adik kandungnya.
“Vina malu dong. Udah gede juga”
“Tapi mah?”
“Lebaran bukan hanya opor ayam dan uang lebaran Vin. Tapi hari dimana kita membersihkan diri dari dosa-dosa kita”
“Iya mah”
Aku langsung teringat apa kata pak ustad kemaren yang membuatku merinding. Kemudian, Aku langsung teringat salah satu sahabatku yang selalu menjadi korban pelampisan hobbyku yang sudah mendarah daging.
Aku langsung mengambil handphone dan mengirim sms ke Chika. Kutulis di sms itu dengan kata-kata yang sangat menyesal karena sering meledeknya dan berjanji untuk mencoba tidak meledek bentuk tubuhnya lagi.
Tapi setengah jam aku menanti, tak ada balasan dari Chika. Hatiku langsung berfikir kalo dia tak memaafkanku karena ledekanku kemaren. Tapi logikaku berfikir, kalau dihari lebaran, pasti provider akan lemot mengirim dan menerima sms.
Tapi berapa menit kemudian, sebuah sms masuk ke handphoneku. Ternyata itu Chika dengan isi smsnya yang membuatku tersenyum dan isi sms itu kubaca sekali lagi,

Andaikan Chairil Anwar ikut sahur.
Ia akan berpuisi,
“Aku berpuasa bukan untuk mereka”

Manakala Isaac Newton ikut tarawih.
Ia akan merumuskan,
“Gravitasi imanku, menarikku untuk bersujud”

Bilamana Friedrich Nietzsche membayar zakat,
Ia akan berfilosofi,
“Apalah arti kebahagian, tanpa memberi”

Dan jika saja Leonardo Da Vinci merayakan lebaran,
Ia akan membongkar rahasia kodenya,
“Monalisa tersenyum karena tulusnya kata maafmu”

☺Mohon maaf lahir dan batin juga, wahai sahabatku☺


Telah diterbitkan di majalah Pesona Muda Vol. 25. 2009

Oleh: Andika Sukandi

Tidak ada komentar:

Senyuman Monalisa

  Oleh: Andika Sukandi “Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang k...