Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

18 April 2024

Senyuman Monalisa

 Oleh: Andika Sukandi


“Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang kupakai disebelah tangan kananku.
“Ya ampun Vin, dari tadi ngitungin jam melulu”
“He...he…ga tahu nih, puasa hari terakhir kayanya berat bangeeeet”
“Tapi ga segitunya dong” ujarnya.
“Dari awal puasa kan gw udah ngomong ke elo. Kalo nahan dahaga itu biasa bagi gw, karena gw jarang minum air. Nahan laper gw juga ga masalah, karena gw sering diet. Apalagi nahan untuk ngeliat cowo-cowo ganteng berkeliaran di sekitar gw, itu sepele bagi gw. Tapi yang gw ga bisa tahan, gw ga bisa nahan hasrat gw untuk ngeledekin orang.”
“Ooooooh. Jadi lo ga bisa nahan hobby lo yang ngeledekin orang” ujar Chika sambil merapikan jilbabnya dengan pandangan yang mulai sedikit ketakutan mendengar perkataan selanjutnya dariku.
“Iya. Apalagi kalo ngeliat lo, pasti bawaannya pengen…”
“Ngeledekin gw!!!”
Chika langsung melanjutkan perkataanku.
“He..,he…apalagi ngeliat perut lo yang tambah buncit. Tuh kan gw ngeledek lagi”
“Rese lo!!” ujarnya sambil mendorongku ke arah sampingku dengan pelan karena kami sedang duduk berdampingan di bangku taman kota.
“Sorry Chik. Gw kelepasan.” ucapku sambil meluruskan kakiku yang pegal, karena dari pagi aku dan Chika habis berbelanja kebutuhan lebaran besok.
Aku langsung terdiam sambil melihat orang-orang yang sedang menikmati keteduhan taman kota ini dan memperhatikan tata letak dan pengaturan taman ini.
“Gw baru sadar, ternyata disain taman ini keren juga”
“huuuh, dasar anak disain”
Chika mengomentari kata-kataku barusan tadi.
“He…he…lo ngertilah. Sekarang kata disain udah jadi bagian hidup gw” ujarku dengan tersenyum lebar. “Oh iya. gimana si Willy? Kayanya gw ga pernah liat dia jemput lo di kampus”
“Dia lagi sibuk sama gaweannya” jawab Chika
“Ooooh” ujarku panjang.
“Oh iya Vin, belakangan ini gw kurang pede nih sama bentuk badan gw sekarang. apalagi kalo ketemu si Willy”
Chika menunjuk badannya yang kini sedikit berubah bentuk. Karena saat ini, kulihat berat badannya naik sekitar sepuluh kilo.
Tapi dari semua itu, ia mempunyai kelebihan yang membuatku kagum, bukan kelebihan berat badannya, tapi otaknya dalam merangkai kata. Ia terbiasa merangkai kata seperti itu, karena jurusan kuliah yang dia ambil, yaitu sastra. Faktor kelebihanya itulah, kuacungkan empat jempol kepadanya. Dua jempol tanganku dan dua jempol kakiku. Maka dari itu, aku mencoba untuk menghiburnya. “Ya elah Chik. Walaupun nanti berat badan lo naik 70 kilo dan bentuk badan lo beleber kemana-mana. Gw yakin dia tetep suka sama lo”
“Tuh kan, lo ngeledek gw lagi. Nyesel gw tadi curhat”
“Kan gw tadi ngomongnya menggunakan konteks pengandaian.”
“Tapi jangan ngandaian gw naik 70 kilo dong. Serem banget gw bayanginnya”
“Tunggu Chik, gw bayangin dulu kalo berat badan lo naik segitu”
Aku langsung menerawang melihat ke atas, kemudian melihatnya lagi sambil membayangkan dia seperti itu. Perlahan tapi pasti, aku langsung tertawa dari volume terkecil kemudian perlahan menanjak ke volume yang terbesar.
“Vinaaaaa!!!”
“Iye...iye...sensitif banget sih”
“Gw lagi dateng bulan tau!!”
“Pantesan aja lo marah-marah melulu kaya jin yang lagi ngamuk gara-gara kurang sesajen….tuh kan, mulai lagi gw”
“Bener-bener deh lo, ngeledekinnya tambah parah”
Chika memasang muka yang terlihat kesal kearahku, seperti pengen gebukin kasur dengan alat khusus yang terbuat dari rotan seperti raket tennis.
“Ga tau nih Chik. Susah banget gw ngilangin kebiasaan buruk gw. Gimana dong nyembuhinnya?”
Tiba-tiba, terdengar suara azan Ashar terdengar membahana di taman kota yang memanggil-manggil di telinga mereka dan membuat Chika menenangkan emosinya.
“Ya udah gini deh, lo shalat ashar dulu. Abis itu lo berdoa dan minta petunjuk sama Allah untuk bisa ngilangin penyakit lo” ujar Chika memberikan saran untukku.
“Thanks Chik”
Aku langsung memeluknya dengan hangat seperti memeluk seorang saudara kandung yang tak pernah kurasakan, karena aku anak satu-satunya di keluargaku.
“Tapi gw ga bisa shalat bareng lo”
“Emangnya kenapa?”
“Kan gw lagi dapet”
“Oh iya, lo lagi dapet yah”
kemudian Chika menarik lenganku dengan pelan. Aku langsung bangun dari bangku taman sambil memegang bawaan belanjaanku yang memenuhi sebelah tanganku dan sebelah tanganku yang lain sedang dipegang oleh Chika. Kini kami menuju Mesjid tak jauh dari taman kota dimana tadi aku berteduh dan melepas lelah.
“Thanks Chik, walaupun kulit lo item kaya areng, tapi hati lo putih bersih”
“Tuh kan ngeledek gw lagi!!!” ujarnya kesal.

***

Kulangkahkan kakiku melalui jalan yang menuju rumahku sambil memikirkan Chika. Baru kusadari, kalau ia sedikit tersingung dengan ledekanku tadi. Tapi renunganku tentangnya langsung buyar saat kulihat jamku lagi untuk sekian kalinya. Ternyata, 30 menit lagi kumandang azan magrib akan terdengar. Kupercepat langkahku untuk sampai ke rumah. Tapi saat di pertigaan menuju rumahku, aku melihat tempat pengisian pulsa.
“Oh iya, pulsa gw abis.”
Aku langsung menuju tempat itu untuk mengisi pulsaku yang sekarat. Seperti biasa, pas hari lebaran, aku selalu meminta maaf lewat sms.
Sampai disana, aku meminta di isikan pulsa dengan nominal cukup besar. Karena aku masih ada sisa uang belanja lebaran.
Setelah selesai mengisi pulsa, kubalikan tubuhku dari tempat pengisian pulsa. Saat kulangkahkan kakiku memasuki gang menuju rumahku, seseorang berpakain putih berpas-pasan bertemu denganku. Kunaikan pandanganku untuk melihat wajahnya.
“Pak ustad”
“mmm…Vina yah”
“Iya pa ustad”
“Mau kemana pak ustad?” tanyaku.
“Ke mesjid. Mau buka puasa disana”
Ia menunjuk mesjid yang kubahnya lumayan besar dan dapat dilihat dari kita berdiri. Pak ustad langsung berjalan beriringan denganku, karena arah jalan gang rumahku, menuju mesjid yang tadi ditunjuknya.
“Oh iya, kamu udah lulus belum?”
“Belum pa ustad. Lagi nyusun tugas akhir”
“Yang semangat yah”
“Thank you pak ustad”
“Penyakit kamu udah sembuh belum?” tanyanya.
“Saya ga sakit pa ustad?”
Aku langsung heran mendengar pertanyaan dari pak ustad yang pernah menjadi guru ngajiku waktu kecil sampai SMP.
“Maksud saya penyakit jail kamu” jelasnya.
“Waduuuh, pak ustad masih inget aja. Vina jadi malu” ujarku sambil menggigit bibir bawahku.
“Saya masih inget, karena kamu yang paling bandel dan paling jail ngeledekin teman-teman kamu”
“He…he…iya nih pak ustad. Susah banget nyembuhin tuh penyakit sampai sekarang” ujarku sambil menggaruk belakang kepala yang tidak terasa gatal.
“Vina, saya cuma ngingetin aja. Apa yang kamu lakukan di dunia ini, pasti akan dibales di akhirat”
“Pak ustad jangan nakut-nakutin dong”
“Saya ga nakut-nakutin kamu. Coba deh kamu bayangin di akhirat nanti. Kamu ternyata masuk ke daftar tamu neraka gara-gara timbangan dosa kamu keberatan karena kamu sering ngeledekin orang.”
Aku langsung terdiam mendengar kata-katanya. Biasanya aku bisa membalas perkataan orang lain, tapi lidahku kini langsung kaku tak bisa berkelit.
“Coba bayangin lagi, ternyata kamu pas di hari pembalasan. Kamu ketemu sama dia, sang Professor Dr. iblis M.N. Dia nyiksa kamu dengan ngeledekin kamu selamanya.”
“M.N? apa tuh kepanjangannya pa ustad?” tanyaku sambil mengkerutkan dahiku yang tertutup oleh poni rambutku.
“Master Ngeledekin orang”
“Pa ustad bisa aja nih”
Tidak terasa, aku sudah sampai di depan rumahku.
“Pak ustad mampir dong. Kita buka puasa di rumah aku aja” ajakku.
“Terima kasih, tapi saya harus ada di mesjid. Salam aja yah buat keluarga di rumah” ucapnya.
“Oke deh. Vina duluan yah”
Kulambaikan telapak tanganku ke kanan dan kiri dengan cepat yang bertumpu di pergelangan tangan kananku.
“Oh iya Vina. jangan lupa yah?”
“Lupa apa pa ustad?”
“jangan lupa nikah”
“pak ustaaaad ko ngeledek Vina sih”
Aku sedikit tersinggung, karena usiaku yang sudah cukup umur untuk menikah, dan juga belum juga dapet pacar.
“Astaghfirullaahal’azim. Saya jadi ketularan kamu kan”
Aku langsung mengerti mengapa pa ustad meledekku. Ternyata dia mencoba mengingatkanku untuk mengucapkan salam dan juga mengingatkanku lagi kalo aku nanti di akhirat nanti.
“Oke deh pa ustad. Makasih yah tadi atas nasehatnya juga ledekannya”
“Sama-sama Vina”
“Assalamu alaikum” ucapku memberi salam padanya.
“Waalaikumsalam”

***

Suara kumandang takbir terdengar saling bersahutan antara mesjid satu dengan mesjid lainnya. Disaat yang sama, aku sedang duduk di meja makan melihat sesuatu yang dibungkus dalam rajutan yang indah berwarna kecoklatan berbentuk layangan. Layangan itu kini kusasat helai demi helai rajutan dari daun kelapa itu. Setelah terbuka, kubelah nasi yang telah padat di dalamnya menjadi kecil-kecil lalu kutaruh dalam piring sambil kusiram dengan kuah santan, kunyit dan bumbu-bumbu yang bersatu padu menggenangi potongan kecil nasi padat yang tadi kupotong.
Aroma yang keluar dari opor yang masih hangat itu, kini sedang mengerubungi hidungku. Aroma itu juga meggodaku untuk mencaplok potongan ayam yang telah berwarna kuning karena bumbunya telah meresap ke dalam daging. Ditambah lagi kentang yang di iris-iris kecil berwarna kuning kemerah-merahan, menambah nafsuku untuk melahap hidangan yang terhampar di depanku saat ini.
Lagi asiknya melahap hidangan khas lebaran ini, terdengar suara dari arah ruang tamu. Ternyata pamanku datang dengan keluarganya dan kini menghampiriku.
“Mohon maaf lahir dan batin om” ucapku sambil mencium telapak tangan atas dari pamanku.
“Mohon maaf lahir dan batin juga Vin”
“Uang lebarannya mana?”
“Astaga Vina, udah gede juga masih minta uang lebaran”
“Kan Vina masih anak kecil dan masih imut-imut om”
Kemudian kulihat omku merogoh kantong dari pakaian gamisnya. Aku langsung tersenyum lebar membayangkan aku dapat uang seratus ribu seperti lebaran kemaren.
“Nih buat anak kecil dan masih imut-imut”
“Loh ko? cuma seribu perak”
“Kan biasanya anak kecil dikasih segitu. Seribu perak juga udah seneng”
“Idiiih, om peliiiiiit”
Tapi omku tidak memperdulikan kata-kataku tadi sambil melenggang pergi menuju ruang tamu. Aku melihat seribu perak tadi yang diberikannya sambil geleng-geleng ga percaya. Lalu, ibuku datang dari arah dapur membawa rendang dalam sepiring besar. Ternyata dari tadi ibuku mendengar perbincanganku dengan adik kandungnya.
“Vina malu dong. Udah gede juga”
“Tapi mah?”
“Lebaran bukan hanya opor ayam dan uang lebaran Vin. Tapi hari dimana kita membersihkan diri dari dosa-dosa kita”
“Iya mah”
Aku langsung teringat apa kata pak ustad kemaren yang membuatku merinding. Kemudian, Aku langsung teringat salah satu sahabatku yang selalu menjadi korban pelampisan hobbyku yang sudah mendarah daging.
Aku langsung mengambil handphone dan mengirim sms ke Chika. Kutulis di sms itu dengan kata-kata yang sangat menyesal karena sering meledeknya dan berjanji untuk mencoba tidak meledek bentuk tubuhnya lagi.
Tapi setengah jam aku menanti, tak ada balasan dari Chika. Hatiku langsung berfikir kalo dia tak memaafkanku karena ledekanku kemaren. Tapi logikaku berfikir, kalau dihari lebaran, pasti provider akan lemot mengirim dan menerima sms.
Tapi berapa menit kemudian, sebuah sms masuk ke handphoneku. Ternyata itu Chika dengan isi smsnya yang membuatku tersenyum dan isi sms itu kubaca sekali lagi,

Andaikan Chairil Anwar ikut sahur.
Ia akan berpuisi,
“Aku berpuasa bukan untuk mereka”

Manakala Isaac Newton ikut tarawih.
Ia akan merumuskan,
“Gravitasi imanku, menarikku untuk bersujud”

Bilamana Friedrich Nietzsche membayar zakat,
Ia akan berfilosofi,
“Apalah arti kebahagian, tanpa memberi”

Dan jika saja Leonardo Da Vinci merayakan lebaran,
Ia akan membongkar rahasia kodenya,
“Monalisa tersenyum karena tulusnya kata maafmu”

☺Mohon maaf lahir dan batin juga, wahai sahabatku☺


Telah diterbitkan di majalah Pesona Muda Vol. 25. 2009

Oleh: Andika Sukandi

08 Januari 2010

Tragedi di Siang Bolong

“Sorry Rin, soal kemaren. bukan maksud gw kaya gitu. Gw saat itu dilema” ujar Eron yang terengah-engah mengejar diriku yang berjalan dengan cepat di pelataran kampus untuk menghindarinya.

“Dilema apaan? jangan alesan deh!!” aku langsung berhenti dari langkahku.

Memang, aku dan dia teman dekat, selalu main ledek-ledekan. Tapi aku tak habis fikir ia bertidak seperti itu.

“Gw pengen bantuin lo pas terpeleset di selokan depan kampus. Tapi jiwa jurnalis gw berkata bahwa ini sebuah berita. Makanya gw photo lo saat itu juga. Namun disisi lain, rasa humanis dalam diri gw berontak” jelasnya.

“Terus kenapa ga lo turutin rasa kemanusiaan lo?” aku tambah kesal.

“Gw akan turutin jika gw lihat sikon?”

“Maksud lo apaan?”“Iya, melihat sikon. Kebetulan saat itu disekitar gw ada orang lain, makanya gw minta tolong orang lain untuk bantuin lo. Tapi kalo gw cuma sendiri dan ga ada siapapun, gw akan langsung bantuin lo”

“banyak alesan lo yah!!” ujarku sambil berjalan kembali menuju gedung kampus.

“Terus kenapa tuh photo lo upload di FB?”

“He…he…kalo itu mah gw bales dendam. Dulu, lo upload photo gw pas dikejar-kejar anjing” ucapnya sambil tersenyum puas.

“Rese lo!!” kucubit tangannya.

“Tapi lo maafin gw kan?” katanya lagi dengan wajah mengiba.

“Iya, gw maafin.” sambil menyodorkan tanganku padanya.

“Iya, tuan putri” ucap Eron sambil mencium tanganku.

“Eron” Mendadak sebuah panggilan dari arah belakangku. Saat kupalingkan badan untuk melihat siapa yang memanggil, wajahku langsung terpana melihat wajah cowo yang kukagumi beberapa hari ini. Walaupun dia anak semester satu, tapi senyum dari wajahnya telah membuatku tak bisa bernafas, senyum yang mencuri perhatianku, senyum yang akan membuat para wanita merasa nyaman untuk selalu bersamanya setiap saat.

“Hai Ron” sapanya yang membuyarkan lamunanku dengan senyum itu. Senyum yang memabukanku sekali lagi. Lalu pandangan kedua matanya yang menyejukan itu, kini bertemu dengan kedua mataku.

“Itu kamu yah yang kemarin terpeleset di selokan depan?” tanya cowo itu.

“Iya, itu aku” kutahan rasa maluku.

“Ris, ini cewe udah beberapa hari ngoceh tentang lo melulu. Kayanya dia naksir deh ama lo?” ledek eron padaku.

“Apaan sih lo!!” kucubit perut Eron.

“Iya…iya…gw kenalin. sabar dong.” ledek Eron lagi yang mulai menjadi-jadi. Tapi akhirnya Eron mengenaliku juga dengannya.

“Rin, ini haris,…Haris, ini Rina”

“Rina”

“Haris”

Kami langsung bersalaman dengan kedua mata kami yang bertatapan. Kurasakan getaran di hati ini seperti sengatan listrik yang menghangatkan. Ditambah lagi dari telapak tangannya yang menggengam erat tanganku menambah getaran misterius yang kini menjalar ke seluruh tubuhku. Entah berapa detik kami berpose seperti ini. Karena aku tak ingin melepaskan jabatan hangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya dan kulihat ia juga tak ingin melepaskan tanganku.

“Ehm”

Terdengar sebuah suara batuk yang disengaja dari arah sampingku dan secara refleks melepaskan jabatan tangan kami.

“Udah jangan kelamaan salamannya” ujar dosen agamaku yang kebetulan lewat di samping kami.

“Iya pa” aku sedikit tersipu.

“Jangan berduan yah, nanti yang ketiganya setan” ucap dosenku.

“Kalo gitu, yang ketiganya dia dong setannya” kutunjuk ke arah Eron.

Namun aku sedikit kaget, ternyata si Eron udah ilang entah kemana meninggalkan kami. kemudian kulihat dosenku hanya tersenyum tipis dan melenggang pergi meninggalkan kami.

“Dasar setan. cepet banget ilangnya” makiku ke Eron.

“Ternyata kamu lebih cantik kalo lagi marah”

“Maksud lo?” aku langsung bertolak pinggang merasa tersinggung juga tersanjung.

“He..he..becanda ko. Oh iya, udah sarapan belum?” ucapnya mengalihkan pembicaraan.

“Belum sih” jawabku sambil merapikan poniku.

“Wah kebetulan, temenin gw dong nyari tempat makan yang enak di sekitar kampus.”

“Boleh”

akupun mengiyakan ajakannya walaupun beberapa menit lagi aku ada jam kuliah.


***

“Duaaaaaaaaaar”

Sebuah suara ledakan menggelegar mengagetkanku dan membuat mata ini terbelalak mencari sumber suara tersebut. Dengan terpaksa kuangkat tubuh ini dari tidur siangku sambil menyeka air liur yang melalang buana di pipi.

“Aaaaaaaaah”

Kini terdengar suara teriakan yang tidak asing bagiku menampar wajah ini dari arah dapur. Secepat kilat aku langsung berlari meninggalkan kamar tidurku menuju dapur. Sampai disana, kulihat Novi, teman satu kosanku sedang berteriak histeris mengibas-ibaskan serbet ke amukan api yang bergelora di kompor minyak tanah yang kini tak berbentuk karena ledakan tadi. Untunglah, kulihat ke sekitar kompor, api tak menyambar ke barang-barang lain.

“Rina, gimana dong nih” lirih Novi dengan wajah panik.

“Lo ambil air cepet” perintahku.

Dengan sekejap, Novi menuruti perintahku dan berlari menuju kamar mandi. Rasa khawatir di wajahku mulai tak karuan saat api mulai membesar di atas kompor. Secara refleks tanganku menyambar payung berukuran panjang tepat disampingku. Kudekati kompor yang terletak dilantai beberapa meter di depanku. Hawa panas mulai menyapa wajah ini. Dengan sedikit keberanian tersisa, kucantolkan ujung payung yang berbentuk seperti kait pancingan ke rangka kompor dan menariknya dengan hati-hati. Kucoba mengeluarkan kobaran api ini agar tidak menyambar ke seluruh ruangan dan membakar kosan kami yang berbentuk rumah tipe 21. Entah berapa meter aku menarik kompor ini menjauhi dapur dan kini telah berada di ruang tamu, tiba-tiba Novi datang sambil menggotong ember berisi air.

“Rina, ini airnya.”

“Ya udah cepet siram” Novi mengangkat ember itu dengan ancang-ancang seperti pemain bowling. Tetapi kulihat matanya malah tertutup saat menyiramkan air tersebut dan…

“Byuuuuuuurrrr”

“Noviiiii!!! bukan gw yang lo siram, tapi kompornya!!” geramku

“Sorrrrry” jawabnya dengan nada bersalah.

“Udah cepetan ambil air lagi”

“Iya..iya..”

Sambil menahan amarah menerima kelakuan temanku yang tak bisa diandalkan itu, aku mencoba menarik kembali kompor yang tambah membara. Akhirnya, aku dapat mengeluarkan kompor tersebut sampai di perkarangan rumah. Tanpa dikomando, aku langsung berlari ke rumah di depan kosanku dimana eron ngekos.

“Eroooon” aku langsung teriak memanggilnya.

“Kenapa lo Rin?” tanyanya kebingungan saat ia keluar dari kosannya.

“Eron, bantuin dong. kompor gw meledak” sambil menunjuk kobaran api di perkarangan kosanku. Tapi entah apa yang ada di otaknya, dia terdiam sejenak seperti berfikir lalu masuk kedalam rumah dan keluar lagi dengan membawa handycam.

“Ko lo ngeluarin handycam sih, bantuin gw dong cepet” kesalku melihat reaksinya mengatasi situasi ini. Tak disangka, seseorang yang kupuja beberapa hari ini keluar dari kosan Eron bergerak secara refleks menuju api yang sedang membara. Di saat yang sama, kulihat Rina keluar dari dalam rumah dan cowo tersebut langsung mengambil ember dari tangan Rina. Seperti petugas pemadam kebakaran, ia dengan sigap mengambil keset di depan pintu depan kosanku dan memasukannya ke dalam ember. Pada saat itulah, aku berkata dengan kagum, “My hero”

“buuuuuuusssssss” suara decit api yang menggelora terpadamkan dengan seketika oleh keset basah menutupi atas kompor yang dilempar oleh dia.

“Kamu ga apa-apa?” ujar haris padaku.

“Aku ga apa-apa” dengan wajahku yang masih terlena oleh aksi heroiknya.

“Aku ga apa-apa ko” kudengar Novi malah menyambar berbicara kepadanya dengan wajah yang mulai menyadari ketampanan Haris dan melupakan kalo tragedi ini gara-gara kelakuannya.

“Syukur deh kamu ga apa-apa” ujar Haris dengan senyum yang manis dan terlihatlah lesung pipinya yang akan membuat setiap gadis akan kelepek-kelepek melihatnya. Termasuk aku.

“Makanya kalo nyalain kompor hati-hati” akhirnya Eron angkat bicara sambil menyorot kamera ke arahku.

“Keterlaluan lo yah, bukannya bantuin gw tadi!!” kupasang wajah amarahku.

“Gw pengen bantuin, tapi lo tau sendiri kan alasan gw” sambil mematikan handycamnya.

"Ada yang bisa gw Bantu?”

“Rese lo!!!” sambil kutendang kakinya.

Disaat itulah aku baru sadar, sudah banyak orang berkerumun melihatku dengan kondisi sedang basah kuyub, tatanan rambutku yang tak beraturan, ekspresi wajahku yang yang tak berbentuk karena tercampur aduk oleh perasaan panik yang membuatku langsung teriak.

“aaaaaaaah”

“kamu ga apa-apa” dengan sigap Haris menghampiriku dan memegang tangan ini sekali lagi.

“aku…ga..pa..pa” ucapku sedikit tergagap.

“Ya udah kamu ganti baju dulu. Biar gw ama Eron urus nih kompor” ujarnya.

Akupun langsung masuk kedalam kosan dengan wajah merah padam. Bukan karena malu di saksikan orang-orang karena tragedi ini. Tapi malu bertemu dengan Haris dengan tragedi yang memalukan seperti ini.


***

Kulangkahkan kakiku menyusuri lorong menuju kelas dengan mengikuti irama jantungku yang berdegup berirama seperti menemukan komposer untuk instrumen musik hatiku. Ya, aku telah menemukan komposer hatiku yang akan memainkan nada-nada yang indah untuk menemaniku hari ini sampai hari-hari berikutnya. Karena setelah tragedi memalukan tersebut, aku tambah dekat dengan Haris dan kini kami telah jadian.

“Aku ingin selalu merasakan irama hati yang indah ini untuk selamanya” bisikku ke dalam hati. Tapi sepanjang jalan, bahkan sepanjang hari ini, kulihat teman-temanku yang kukenal melihatku dengan senyum yang terpaksa saat kusapa mereka, ada beberapa yang menahan tertawa dan ada juga mereka langsung tertawa terbahak-bahak saat melihatku sampai di depan kelas.

“Pada kenapa sih, lo pada ketawain gw?” heranku

Tapi mereka tidak menjawab. Malah kini ledakan tertawa tambah menggelegar menghiasi lorong. Aku langsung memperhatikan seluruh tubuhku lagi, Apakah aku salah memakai pakaian, ataukah wajahku salah memakai make up? tapi kulihat lagi, tak ada yang aneh.

Aku langsung duduk lesehan di lantai mencoba tidak memperdulikan hal itu. Namun, suara cekikikan yang mentertawaiku masih menabuh gendang di telingaku

“lo bisa diem ga sih?”

“sorry…sorry…” ujar temanku yang duduk di samping pintu kelas meminta maaf, tapi wajahnya masih terlihat menahan tawa.

“Aaaahh, jadi bete kan gw. padahal hari ini gw lagi seneng” gerutuku.

Aku langsung mengambil Hpku dan masuk situs FB untuk mengurangi beteku. Saat aku telah masuk ke situs tersebut, aku langsung kaget, kulihat tanda bertuliskan 125 notifications.

“Buseeet banyak banget, baru kemaren gw buka udah banyak gini. Pada komentarin apaan nih anak-anak?”

Ku klik tanda tersebut dan terlihatlah notification yang hampir semua mengkomentari video of you.

“Perasaan gw ga enak nih” Aku langsung mengklik tulisan video of you. Lalu terbukalah semua tabir dan alasan dari mereka mentertawakanku sepanjang hari ini yang membuat wajahku merah padam saat membaca uraian video tersebut “tragedi kompor meleduk”. Tak ayal lagi aku langsung berteriak.

“Erooooooooooon jeleeeeeeek”

Oleh: Andika Sukandi

Senyuman Monalisa

  Oleh: Andika Sukandi “Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang k...