Oleh: Andika Sukandi
Banyak mahasiswa yang di Drop-out
dan tidak lulus kuliah. Tetapi, mereka malah menjadi seorang yang sukses
luar biasa karena paham idealisme yang diusungnya. Masih berlaku kah konotasi
negatif drop-out di masyarakat?
Pandangan miring akan istilah drop-out, telah menggelitik nurani untuk dipertanyakan kembali
tentang konotasi negatif istilah ini. Sebuah istilah yang menyudutkan setatus
sosial para mahasiswa di masyarakat yang gagal dalam perkulihannya. Begitu
jelek kah setatus mantan mahasiswa yang mendapatkan title tersebut? Apakah keberhasilan seseorang dipandang dari
pencapainnya lulus dari perguruan tinggi?
Mungkin, pertanyaan ini akan dijawab seseorang yang
secara tidak langsung mendekontruksi pandangan miring tersebut. Seorang mantan
mahasiswa Harvard yang di drop-out. Dia
adalah salah satu pendiri situs yang bikin hampir seluruh penduduk dunia
kecanduan akan sensasi yang ditawarkan oleh situs jaringan sosial yang
dibuatnya.
Ya, dialah Mark Elliot Zuckerberg. Salah satu pendiri
situs facebook bersama dengan dua temannya, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Zukenberg
di drop out karena kecanduan segala hal tentang computer dan teknologi
informasi yang membuatnya melantarkan aktifitas perkuliahannya. Apakah dia
gagal? Tidak. Ia mendekotruksi pandangan tersebut dan menunjukan kepada kita
bahwa ia adalah seseorang yang sukses luar biasa tanpa title yang melekat di belakang namanya. Sebuah ketekunan dan
idealisnya yang kini telah menelurkan sebuah karya yang fenomenal di dunia
maya.
Fenomena ini juga, telah dinikmati oleh seseorang yang
tidak mendapatkan gelar perguruan tinggi. Malahan, seseorang tersebut
mendapatkan gelar yang tak kalah terhormatnya, yaitu gelar salah satu orang
terkaya di dunia. Seseorang yang menciptakan program luar biasa yang bernama
Microsoft.
Ya, Siapa lagi bukan Bill Gates. Seorang yang mendobrak
kepincangan akan status seseorang yang tak mempunyai gelar. Ia bahkan melebihi
kesuksesan para lulusan sarjana yang mempunyai title. Fenomena inilah yang sedang mengguncang segala pandangan
realistis yang beredar di masyarakat, bahwa sukses tak harus mempunyai
gelar.
Matinya Idealisme
di Negara ini, Negara yang kaya akan pakem-pakem sosial,
budaya warisan leluhur, ataupun pandangan lisan akan hidup, masih beredar
pandangan yang memaparkan pandangan miring oleh sebagian masyarakat tentang idealisme.
Persepsi yang mengatakan bahwa idealisme tak dapat mengenyangkan perut dan
pundi-pundi kekayaan.
Seperti pelukis yang kaya akan keindahan karya-karyanya,
tetapi dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai seseorang individu yang
miskin dan tak mempunyai penghasilan yang tetap perbulan. Ataupun para musisi
yang mendenyutkan nadi alat musik tradisional untuk tetap hidup lebih lama lagi
untuk bertahan dari beredelan
alat-alat musik modern yang menjejali para anak muda saat ini. Namun sekali
lagi, para pahlawan musisi ini masih saja dipandang sebagai orang yang tidak
realistis dalam menjalani realitas hidup.
Ini semua dikarenakan, sebagain besar masarakat lebih
mementingkan realitas daripada idealisme. Realitas dimana penghidupan yang
layak sebagai tujuan hidup. Hidup yang penuh dengan kemapanan dan konsumerisme
yang berujung matinya idealisme kreatif.
Tak pelak lagi, pandangan tentang pakem realistisme
membuat idealisme terpinggirkan ke status sosial anti kemapanan yang hanya mengantarkan
ke jalur yang berliku-liku menghadapi realitas hidup.
Idealisme-realistis
Paham idealisme seniman yang murni, selalu mengedepankan
kenikmatan diskursus seni dan merefleksikannya ke dalam batin, kemudian menuangkannya
ke dalam sebuah eksistensialisme kegilaan berkarya yang tak terbatas untuk
memenuhi kepuasan batin mereka. Tanpa memikirkan jumlah materi yang akan
diperoleh dari penjualan masterpiece
mereka.
Namun, dari semua idealisme murni tersebut, ada beberapa
pandanganan idealisme yang bertransformasi dan mulai meruntuhkan kokohnya
pandangan para realitas. Pemikiran tersebut adalah idealisme-realistis yang
diusung oleh Bill gates, Zuckerberg dan para idealis lainnya. Mereka berfikir
bahwa paham idealisme yang berkalborasi dengan paham realistisme, dapat
menciptakan realitas hidup tersendiri yang akan berevolusi menjadi
pos-realistis, melebihi kerealistisan para penganut realitas.
Dan kini, Idealisme-realistis mulai membanjiri ke
seluruh bagian bidang. Seperti beberapa orang yang mempunyai idealis yang
tinggi untuk mengurangi sampah rumah tangga. Mereka mendaur ulang sampah
plastik menjadi tas jinjing, payung, karya seni, ataupun lampu hias. Dengan
karya-karya tersebut, mereka mendapatkan pos-realistis hidup dengan mendapatkan
penghasilan dari menjual determinasi idealis mereka.
Pemikiran inilah yang ditunggu saat ini, pemikiran yang
mungkin akan menggugah pemikiran para mahasiswa ataupun yang telah lulus, untuk
tidak kalah dengan para hyper-success yang minus title, yang telah mendominasi
dunia dengan idealisme karyanya.
Mungkin saja, idealisme ini bertranformasi menjadi
idealisme-realistis-nasionalis yang akan terpatri ke dalam hati nurani para pejabat
negara yang lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat dan negara daripada mementingkan
egosentris kelompok tertentu ataupun untuk mereka sendiri. Jika para pejabat
Negara berfikir untuk mengedepankan kesejahteraan rakyat dan mewujudkannya,
realitas hidup akan terpenuhi dengan sendirinya ke dalam kantong kesejahteraan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar