01 September 2012

Idealisme yang Realistis


Oleh: Andika Sukandi


Banyak mahasiswa yang di Drop-out dan tidak lulus kuliah. Tetapi, mereka malah menjadi seorang yang sukses luar biasa karena paham idealisme yang diusungnya. Masih berlaku kah konotasi negatif drop-out di masyarakat?

Pandangan miring akan istilah drop-out, telah menggelitik nurani untuk dipertanyakan kembali tentang konotasi negatif istilah ini. Sebuah istilah yang menyudutkan setatus sosial para mahasiswa di masyarakat yang gagal dalam perkulihannya. Begitu jelek kah setatus mantan mahasiswa yang mendapatkan title tersebut? Apakah keberhasilan seseorang dipandang dari pencapainnya lulus dari perguruan tinggi?
Mungkin, pertanyaan ini akan dijawab seseorang yang secara tidak langsung mendekontruksi pandangan miring tersebut. Seorang mantan mahasiswa Harvard yang di drop-out. Dia adalah salah satu pendiri situs yang bikin hampir seluruh penduduk dunia kecanduan akan sensasi yang ditawarkan oleh situs jaringan sosial yang dibuatnya.
Ya, dialah Mark Elliot Zuckerberg. Salah satu pendiri situs facebook bersama dengan dua temannya, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Zukenberg di drop out karena kecanduan segala hal tentang computer dan teknologi informasi yang membuatnya melantarkan aktifitas perkuliahannya. Apakah dia gagal? Tidak. Ia mendekotruksi pandangan tersebut dan menunjukan kepada kita bahwa ia adalah seseorang yang sukses luar biasa tanpa title yang melekat di belakang namanya. Sebuah ketekunan dan idealisnya yang kini telah menelurkan sebuah karya yang fenomenal di dunia maya.
Fenomena ini juga, telah dinikmati oleh seseorang yang tidak mendapatkan gelar perguruan tinggi. Malahan, seseorang tersebut mendapatkan gelar yang tak kalah terhormatnya, yaitu gelar salah satu orang terkaya di dunia. Seseorang yang menciptakan program luar biasa yang bernama Microsoft.
Ya, Siapa lagi bukan Bill Gates. Seorang yang mendobrak kepincangan akan status seseorang yang tak mempunyai gelar. Ia bahkan melebihi kesuksesan para lulusan sarjana yang mempunyai title. Fenomena inilah yang sedang mengguncang segala pandangan realistis yang beredar di masyarakat, bahwa sukses tak harus mempunyai gelar. 

Matinya Idealisme
di Negara ini, Negara yang kaya akan pakem-pakem sosial, budaya warisan leluhur, ataupun pandangan lisan akan hidup, masih beredar pandangan yang memaparkan pandangan miring oleh sebagian masyarakat tentang idealisme. Persepsi yang mengatakan bahwa idealisme tak dapat mengenyangkan perut dan pundi-pundi kekayaan.
Seperti pelukis yang kaya akan keindahan karya-karyanya, tetapi dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai seseorang individu yang miskin dan tak mempunyai penghasilan yang tetap perbulan. Ataupun para musisi yang mendenyutkan nadi alat musik tradisional untuk tetap hidup lebih lama lagi untuk bertahan dari beredelan alat-alat musik modern yang menjejali para anak muda saat ini. Namun sekali lagi, para pahlawan musisi ini masih saja dipandang sebagai orang yang tidak realistis dalam menjalani realitas hidup.
Ini semua dikarenakan, sebagain besar masarakat lebih mementingkan realitas daripada idealisme. Realitas dimana penghidupan yang layak sebagai tujuan hidup. Hidup yang penuh dengan kemapanan dan konsumerisme yang berujung matinya idealisme kreatif.
Tak pelak lagi, pandangan tentang pakem realistisme membuat idealisme terpinggirkan ke status sosial anti kemapanan yang hanya mengantarkan ke jalur yang berliku-liku menghadapi realitas hidup.  

Idealisme-realistis
Paham idealisme seniman yang murni, selalu mengedepankan kenikmatan diskursus seni dan merefleksikannya ke dalam batin, kemudian menuangkannya ke dalam sebuah eksistensialisme kegilaan berkarya yang tak terbatas untuk memenuhi kepuasan batin mereka. Tanpa memikirkan jumlah materi yang akan diperoleh dari penjualan masterpiece mereka.
Namun, dari semua idealisme murni tersebut, ada beberapa pandanganan idealisme yang bertransformasi dan mulai meruntuhkan kokohnya pandangan para realitas. Pemikiran tersebut adalah idealisme-realistis yang diusung oleh Bill gates, Zuckerberg dan para idealis lainnya. Mereka berfikir bahwa paham idealisme yang berkalborasi dengan paham realistisme, dapat menciptakan realitas hidup tersendiri yang akan berevolusi menjadi pos-realistis, melebihi kerealistisan para penganut realitas.
Dan kini, Idealisme-realistis mulai membanjiri ke seluruh bagian bidang. Seperti beberapa orang yang mempunyai idealis yang tinggi untuk mengurangi sampah rumah tangga. Mereka mendaur ulang sampah plastik menjadi tas jinjing, payung, karya seni, ataupun lampu hias. Dengan karya-karya tersebut, mereka mendapatkan pos-realistis hidup dengan mendapatkan penghasilan dari menjual determinasi idealis mereka.
Pemikiran inilah yang ditunggu saat ini, pemikiran yang mungkin akan menggugah pemikiran para mahasiswa ataupun yang telah lulus, untuk tidak kalah dengan para hyper-success yang minus title, yang telah mendominasi dunia dengan idealisme karyanya.
Mungkin saja, idealisme ini bertranformasi menjadi idealisme-realistis-nasionalis yang akan terpatri ke dalam hati nurani para pejabat negara yang lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat dan negara daripada mementingkan egosentris kelompok tertentu ataupun untuk mereka sendiri. Jika para pejabat Negara berfikir untuk mengedepankan kesejahteraan rakyat dan mewujudkannya, realitas hidup akan terpenuhi dengan sendirinya ke dalam kantong kesejahteraan mereka.

Tidak ada komentar:

Senyuman Monalisa

  Oleh: Andika Sukandi “Masih tiga jam, dua puluh dua menit, tiga puluh lima detik lagi” ujarku sambil melihat jam tangan yang sedang k...